Rabu, 29 April 2009

Apa bedanya anak kost-kostan dengan anak pingitan...???

Ketika memulai berfikir, mengapa keadaan para aktifis akhwat kampus itu berbeda-beda, ada yang bebas berkarya kapan dan dimana saja mereka inginkan, dengan begitu mereka bisa mengenal dan terkenal serta cukup popular dikalangan aktifis lainnya. Namun tak sedikit pula aktifis kampus akhwat yang macet dalam kegiatan dakwahnya. Setelah ana mengamati, tidak lain pengaruh terbesarnya bukanlah karena adanya kemauan semata, tetapi kurangnya kesempatan dalam meraik kebebasan itu, yang bukan kebebasan sembarang tentunya. Mereka para aktifis yang doyan pergi pagi pulang sore tanpa komentar dan cekalan, dikarenakan mereka tinggal mandiri bersama teman-teman seperjuangannya yang biasa diistilahkan “anak kost-kostan”, atau menurut kisah-kisah novelnya kang Abid, mereka tinggal di flat khusus penuntut ilmu. Sedangkan mereka yang kebanyakan diam di rumah dengan dipenuhi keinginan beraktivitas di luar rumah berkobar-kobar bagai api dakwah yang membara, tak mampu untuk meyatakan pada dunia sekelilingnya sebagai inspirasi dan motivasi kehidupannya sebagai seorang muslimah dikarenakan kekhawatiran orang tua yang hampir tiap harinya mereka hadapi langsung bertatap muka. Tidak dipungkiri, bahwa mereka yang tinggal kost-kostan juga sangat dikhawatirkan oleh orang tua mereka, namun karena jarak yang memisahkan pantauan pandangan mata orang tua, mungkin hanya dengan memberi ocehan-ocehan dan kalimat meyakinkan orang tua bahwa dirinya akan baik-baik saja dan akan berusaha menjaga dirinya. Lain ketika halnya seorang anak yang serumah dengan orang tuanya dikala asyik-asyiknya menikmati dunia perguruan tinggi tidak dapat berkomentar mudah seperti itu untuk meyakinkan orang tuanya, apalagi jika ditambah ortu selalu mendengar berita-berita negative di luar sana atau ditayangkan di TV, dengan semangat penjagaan dan kekhawatiran terhadap anak gadisnya yang super ketat tidak mengizinkan keluar rumah. Yang orang tua ajarkan dan sarankan adalah kuliah dengan tujuan mendapat gelar ke-sarjana-an agar mudah mendapat pekerjaan legal, bukan untuk mengukir sejarah dalam dunia aktifis.
Sempat mengingat, kisah seorang sahabat pribadi, dia bersama orang tua, kampusnya pun tak jauh dari tempat tinggalnya, hanya berbeda tingkat kecamatan saja. Kekerasan dari ayahnya yang kadang kala mengiris hati tidak lagi menjadi asing baginya. Pernah ketika itu, ia sekonyong-konyong ditampar di depan orang banyak dikarenakan si aktifis ini sering pergi pagi dan pulang ketika menjelang magrib atau bahkan menjelang larut malam. Si akhwat ini tengah larut dalam kegiatan kemahasiswaan, diskusi, seminar, menjadi ketua panitian penyelenggara, bahkan posisinya sekarang adalah ketua umum organisasi islam kampus bergengsi dikalangan teman-temannya. Ketika ditanya mengapa bisa sebebas itu, awalnya dikira, memang karena dapat izin kepercayaan atau memang karena dia juga anak kost-kostan dengan teman-temannya, tapi nyatanya lain dan sangat membutuhkan ketajaman kesabaran yang akhirnya berujung pada ketidak peduliannya pada kekasaran yang ia terima sangking cintanya dalam berorganisasi. Wah ribet juga yaaa…..
Mirip dengan kisah si akhwat tadi, bedanya teman yang satu ini tidak mengalami kekerasan fisik, hanya sekali-kali mendapat teguran pedas, dan itupun ia harus telan sekuat-kuatnya tanpa adanya protes unjuk rasa dikarenakan rasa takutnya akan dimurkai oleh orang tuanya. Hal ini terasa berdampak bagi kepentingan organisasinya, ia harus keluar masuk suatu kepengurusan organisasi baik dalam maupun luar kampus. Jika keadaan lagi bersahabat, sepekan aktif di luar rumah adalah keberuntungan baginya, namun jika TV kembali menayangkan berita hangat dengan peristiwa mengerikan dan menjijikkan yang diperbuat oleh muda-mudi, laki-laki perempuan yang tidak seharusnya terjadi, maka ia pun harus bersiap-siap untuk menganggur di rumah hanya dengan mengerjakan tugas pekerjaan layaknya seorang ibu rumah tangga, walau sebenarnya ia sendiri masih tergolong anak gadis.
Jadi, jangan heran ketika sebagian akhwat yang trgolong kategori cerdas dalam intelektual pemikir handal hanya berdiam diri di rumah. Sebuah kewajaran memang, jika ortu mencemaskan keadaan anak gadisnya, namun bukan berarti membatasi gerak langkah dunianya jika toh itu bertujuan baik dan bermanfaat bagi dirinya, agamanya, dan orang-orang id sekitarnya. Disiplin tentulah harus ada dalam setiap diri manusia, namun disiplin ang over dosis pun tak ada bedanya dengan keracunan obat yang berlebihan tentunya. Tanpa sengaja, orang tua telah mematahkan sayap dakwah yang lahir secara alamiah dalam diri anaknya.
Maka berlakulah bagi akhwat aktifis yang tertekan dalam rumahnya lagi suntuk :
“Gunakanlah masa sendirimu di dalam rumah dengan sebaik-baiknya dan bersabarlah karena kesempatan berkara itu akan ada setelah kalian berumah tangga sendiri, maka bersungguh-sunguhlah engkau mencari pasangan hidupmu yang dapat mengerti dan se-visimisi olehmu”
Perlihatkan kepada orang tua kita, bahwa kita bukanlah generasi penghancur moral ataupun korban orang-orang tak bertanggung jawab, melainkan generasi muslimah yang kaya akan karya yang mempesona nan membanggakan
Keep hamasah ukhti…..waktu belum berakhir…..

Seuntai lirik dari Brother,

Bersaksilah tuhanku satu….
Bersaksilah tuhanku satu….
Bersaksilah tuhanku satu….
Segala puji bagi Tuhan
Hadir Muhammad bawa kebenaran
Walau disiksa dihina
Tak kan sekali ku berpatah harap
Untukmu agamamu…untukku kebenaran Tuhanku
Siksalah jasadku
Takkan kutunduk pada kejahilanmu
Karena mengalir diseluruh tubuhku
Kalimah Tuhan dari lidah Rasulku
Dan itu yang kupercaya
Allahu Ahad…
Deritaku menjadi saksi bisu
Tanda kasihku kepada yang terulung
Walau disirami debu yang mengalir
Genggamku ini tak kulepaskan
Panaslah sang mentari
Lafadz kalimah takkan kuhenti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar